Tak kenal maka tak sayang. Barangkali peribahasa itu tepat untuk
menggambarkan keadaan Indonesia akhir-akhir ini, dimana orang tak hanya
tak kenal dan tak sayang, tetapi bahkan justru memfitnah, membenci dan
memaki, dengan orang yang belum dikenalnya di media. Tak terkecuali,
berbagai fitnah, berita palsu (hoax)
dan makian yang dialamatkan kepada Prof Dr KH Said Aqil Siradj, MA,
Ketua Umum Ormas Islam terbesar di dunia: Nahdlatul Ulama (NU).
Untuk
itu, tulisan ini sedikit mengupas profil beliau, sosok santri yang dulu
pernah menjabat sebagai Ketua Majelis Wali Amanat Universitas Indonesia
(MWA UI) itu dinobatkan oleh Republika sebagai Tokoh Perubahan Tahun 2012
karena kontribusinya dan komitmennya dalam mengawal keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan berperan aktif dalam perdamaian
dunia, khususnya di kawasan Timur Tengah.
Said
kecil kemudian tumbuh dalam tradisi dan kultur pesantren. Dengan
ayahandanya sendiri, ia mempelajari ilmu-ilmu dasar keislaman. Kiai Aqil
sendiri – Ayah Said – merupakan putra Kiai Siroj, yang masih keturunan
dari Kiai Muhammad Said Gedongan. Kiai Said Gedongan merupakan ulama
yang menyebarkan Islam dengan mengajar santri di pesantren dan turut
berjuang melawan penjajah Belanda.
“Ayah saya
hanya memiliki sepeda ontel, beli rokok pun kadang tak mampu. Dulu
setelah ayah memanen kacang hijau, pergilah ia ke pasar Cirebon. Zaman
dulu yang namanya mobil transportasi itu sangat jarang dan hanya ada
pada jam-jam tertentu,” kenang Kiai Said dalam buku Meneguhkan Islam Nusantara; Biografi Pemikiran dan Kiprah Kebangsaan (Khalista: 2015).
Setelah
merampungkan mengaji dengan ayahanda maupun ulama di sekitar Cirebon,
dan umur dirasa sudah cukup, Said remaja kemudian belajar di Pesantren
Lirboyo, Kediri, Jawa Timur yang didirikan oleh KH Abdul Karim (Mbah
Manaf). Di Lirboyo, ia belajar dengan para ustadz dan kiai yang merawat
santri, seperti KH Mahrus Ali, KH Marzuki Dahlan, dan juga Kiai Muzajjad
Nganjuk.
Setelah selesai di tingkatan Aliyah,
ia melanjutkan kuliah di Universitas Tribakti yang lokasinya masih dekat
dengan Pesantren Lirboyo. Namun kemudian ia pindah menuju Kota Mataram,
menuju Ngayogyokarta Hadiningrat. Di Yogya, Said belajar di Pesantren
Al-Munawwir, Krapyak dibawah bimbingan KH Ali Maksum (Rais Aam PBNU
1981-1984). Selain mengaji di pesantren Krapyak, ia juga belajar di IAIN
Sunan Kalijaga, yang ketika itu KH Ali Maksum menjadi Guru Besar di
kampus yang saat ini sudah bertransformasi menjadi UIN itu.
Ia
merasa belum puas belajar di dalam negeri. Ditemani istrinya,
Nurhayati, pada tahun 1980, ia pergi ke negeri kelahiran Nabi Muhammad
SAW: Makkah Al-Mukarramah. Di sana ia belajar di Universitas King Abdul
Aziz dan Ummul Qurra, dari sarjana hingga doktoral. Di Makkah, setelah
putra-putranya lahir, Kang Said – panggilan akrabnya – harus mendapatkan
tambahan dana untuk menopang keluarga. Beasiswa dari Pemerintah Saudi,
meski besar, dirasa kurang untuk kebutuhan tersebut. Ia kemudian bekerja
sampingan di toko karpet besar milik orang Saudi di sekitar tempat
tinggalnya. Di toko ini, Kang Said bekerja membantu jual beli serta
memikul karpet untuk dikirim kepada pembeli yang memesan.
Keluarga
kecilnya di Tanah Hijaz juga sering berpindah-pindah untuk mencari
kontrakan yang murah. “Pada waktu itu, bapak kuliah dan sambil bekerja.
Kami mencari rumah yang murah untuk menghemat pengeluaran dan
mencukupkan beasiswa yang diterima Bapak,” ungkap Muhammad Said, putra
sulung Kang Said.
Dengan keteguhannya hidup
ditengah panasnya cuaca Makkah di siang hari dan dinginnya malam hari,
serta kerasnya hidup di mantan “tanah Jahiliyyah” ini, ia menyelesaikan
karya tesisnya di bidang perbandingan agama: mengupas tentang kitab
Perjanjian Lama dan Surat-Surat Sri Paus Paulus. Kemudian, setelah 14
tahun hidup di Makkah, ia berhasil menyelesaikan studi S-3 pada tahun
1994, dengan judul: Shilatullah bil-Kauni fit-Tashawwuf al-Falsafi (Relasi Allah SWT dan Alam: Perspektif Tasawuf).
Pria yang terlahir di pelosok Jawa Barat itu mempertahankan
disertasinya – diantara para intelektual dari berbagai dunia – dengan
predikat Cumlaude.
Ketika
bermukim di Makkah, ia juga menjalin persahabatan dengan KH Abdurrahman
Wahid (Gus Dur). “Gus Dur sering berkunjung ke kediaman kami. Meski
pada waktu itu rumah kami sangat sempit, akan tetapi Gus Dur
menyempatkan untuk menginap di rumah kami. Ketika datang, Gus Dur
berdiskusi sampai malam hingga pagi dengan Bapak,” ungkap Muhammad Said
bin Said Aqil. Selain itu, Kang Said juga sering diajak Gus Dur untuk sowan ke kediaman ulama terkemuka di Arab, salah satunya Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki.
Setelah
Kang Said mendapatkan gelar doktor pada 1994, ia kembali ke tanah
airnya: Indonesia. Kemudian Gus Dur mengajaknya aktif di NU dengan
memasukkannya sebagai Wakil Katib ‘Aam PBNU dari Muktamar ke-29 di
Cipasung. Ketika itu, Gus Dur “mempromosikan” Kang Said dengan
kekaguman: “Dia doktor muda NU yang berfungsi sebagai kamus berjalan
dengan disertasi lebih dari 1000 referensi,” puji Gus Dur. Belakangan,
Kang Said juga banyak memuji Gus Dur. “Kelebihan Gus Dur selain cakap
dan cerdas adalah berani,” ujarnya, dalam Simposium Nasional
Kristalisasi Pemikiran Gus Dur, 21 November 2011 silam.
Setelah
lama akrab dengan Gus Dur, banyak kiai yang menganggap Kang Said
mewarisi pemikiran Gus Dur. Salah satunya disampaikan oleh KH Nawawi
Abdul Jalil, Pengasuh Pesantren Sidogiri, Pasuruan, ketika kunjungannya
di kantor PBNU pada 25 Juli 2011. Kunjungan waktu itu, merupakan hal
yang spesial karena pertama kalinya kiai khos itu berkunjung ke PBNU –
di dampingi KH An’im Falahuddin Mahrus Lirboyo. Kiai Nawawi menganggap
bahwa Kang Said mirip dengan Gus Dur, bahkan dalam bidang ke-nyelenehan-nya.
“Nyelenehnya pun juga sama,” ungkap Kiai Nawawi, seperti dikutip NU Online.
“Terus berjuang di NU tidak ada ruginya. Teruslah berjuang memimpin,
Allah akan selalu meridloi,” tegas Kiai Nawawi kepada orang yang
diramalkan Gus Dur menjadi Ketua Umum PBNU di usia lebih dari 55 tahun
itu.
Menjaga NKRI dan mengawal perdamaian dunia
Pada
masa menjelang kemerdekaan, tepatnya pada tahun 1936, para ulama NU
berkumpul di Banjarmasin untuk mencari format ideal negara Indonesia
ketika sudah merdeka nantinya. Pertemuan ulama itu menghasilkan
keputusan yang revolusioner: (1) negara Darus Salam (negeri damai), bukan Darul Islam
(Negara Islam); (2) Indonesia sebagai Negara Bangsa, bukan Negara
Islam. Inilah yang kemudian menginspirasi Pancasila dan UUD 1945 yang
dibahas dalam Sidang Konstituante – beberapa tahun kemudian. Jadi, jauh
sebelum perdebatan sengit di PPKI atau BPUPKI tentang dasar negara dan
hal lain sebagainya, ulama NU sudah terlabih dulu memikirkannya.
Pemikiran, pandangan dan manhaj ulama pendahulu tentang relasi negara dan agama (ad-dien wa daulah)
itu, terus dijaga dan dikembangkan oleh NU dibawah kepemimpinan Kang
Said. Dalam pidatonya ketika mendapat penganugerahan Tokoh Perubahan
2012 pada April 2013, Kiai Said menegaskan sikap NU yang tetap
berkomitmen pada Pancasila dan UUD 1945. “Muktamar (ke-27 di
Situbondo-pen) ini kan dilaksanakan di Pesantren Asembagus pimpinan Kiai
As’ad Syamsul Arifin. Jadi, pesantren memang luar biasa pengaruhnya
bagi bangsa ini. Meski saya waktu itu belum menjadi pengurus PBNU,” kata
Kiai Said, mengomentari Munas Alim Ulama NU 1983 dan Muktamar NU di
Situbondo 1984 yang menurutnya paling fenomenal dan berdampak dalam
pandangan kebangsaan.
Sampai kini, peran serta
NU dalam hal kebangsaan begitu kentara kontribusinya, baik di level anak
ranting sampai pengurus besar, di tengah berbagai rongrongan ideologi
yang ingin menggerogoti Pancasila sebagai dasar negara. Hal ini
tercermin dalam berbagai kegiatan dan program NU yang selalu
mengarusutamakan persatuan dan kesatuan bangsa. Dalam konteks ini, Kiai
Said sangat berpengaruh karena kebijakan PBNU selalu diikuti
kepengurusan dibawahnya – termasuk organisasi sayapnya.
Salah
satu peran yang cukup solutif, misalnya, ketika beliau menaklukkan
Ahmad Mushadeq – orang yang mengaku sebagai Nabi di Jakarta dan
menimbulkan kegaduhan nasional – lewat perdebatan panjang tentang
hakikat kenabian (2007). “Alhamdulillah, doa saya diterima untuk bertemu
ulama, tempat saya bermudzakarah (diskusi). Sekarang saya sadar kalau
langkah saya selama ini salah,” aku Mushadeq. Disisi lain, Kang Said
juga mengakui kehebatan Mushadeq. “Dia memang hebat. Paham dengan
asbabun nuzul Al-Qur’an dan asbabul wurud Hadits. Hanya sedikit saja
yang kurang pas, dia mengaku Nabi, itu saja,” jelas Kiai Said seperti
yang terekam dalam Antologi NU: Sejarah, Istilah, Amaliah dan Uswah (Khalista & LTN NU Jatim, Cet II 2014).
Kiai
yang mendapat gelar Profesor bidang Ilmu Tasawuf dari UIN Sunan Ampel
Surabaya ini bersama pengurus NU juga membuka dialog melalui forum-forum
Internasional, khususnya yang terkait isu-isu terorisme, konflik
bersenjata dan rehabilitasi citra Islam di Barat yang buruk pasca
serangan gedung WTC pada 11 September 2001. Ia juga kerapkali membuat
acara dengan mengundang ulama-ulama dunia untuk bersama-sama membahas
problematika Islam kontemporer dan masalah keumatan.
Pada
Jumat, 7 Maret 2014, Duta Besar Amerika untuk Indonesia Robert O. Blake
berkunjung ke kantor PBNU. Ia menginginkan NU terlibat dalam
penyelesaian konflik di beberapa negara. “Kami berharap NU bisa membantu
penyelesaian konflik di negara-negara dunia, khususnya di Syria dan
Mesir. NU Kami nilai memiliki pengalaman membantu penyelesaian konflik,
baik dalam maupun luar negeri,” kata Robert, seperti dilansir NU Online.
“Sejak saya bertugas di Mesir dan India, saya sudah mendengar bagaimana
peran NU untuk ikut menciptakan perdamaian dunia,” imbuhnya.
Raja
Yordania Abdullah bin Al-Husain (Abdullah II) juga berkunjung ke PBNU.
Ia ditemui Kiai Said, meminta dukungan NU dalam upaya penyelesaian
konflik di Suriah. “Di Timur Tengah, tidak ada organisasi masyarakat
yang bisa menjadi penengah, seperti di Indonesia. Jika ada konflik,
bedil yang bicara,” ungkap Kiai Said.
Selain
itu, menguapnya kasus SARA di Indonesia belakangan juga kembali marak
muncul ke permukaan. “Munculnya kerusuhan bernuansa agama memang sangat
sering kita temukan. Hal ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia harus
terus belajar pentingnya toleransi dan kesadaran pluralitas. Sikap
toleransi tersebut dibuktikan oleh Kaisar Ethiopia, Najashi (Negus)
ketika para sahabat ditindas oleh orang-orang Quraisy di Mekkah dan
memutuskan untuk hijrah ke Ethiopia demi meminta suaka politik
kepadanya. Kaisar Negus yang dikenal sebagai penguasa beragama Nasrani
itu berhasil melindungi para sahabat Nabi Muhammad SAW dari ancaman
pembunuhan kafir Quraisy,” tulis Kiai Said dalam Dialog Tasawuf Kiai Said: Akidah, Tasawuf dan Relasi Antarumat Beragama (Khalista, LTN PBNU & SAS Foundation, Cet II, 2014).
Menghadapi
potensi konflik horisontal itu, NU juga tetap mempertahankan gagasan
Darus Salam, bukan Darul Islam, yang terinspirasi dari teladan Nabi
Muhammad dalam Piagam Madinah. Dalam naskah tersebut, nabi membuat
kesepakatan perdamaian, bahwa muslim pendatang (Muhajirin) dan muslim pribumi (Anshar)
dan Yahudi kota Yastrib (Madinah) sesungguhnya memiliki misi yang sama,
sesungguhnya satu umat. Yang menarik, menurut Kiai Said, Piagam Madinah
– dokumen sepanjang 2,5 halaman itu – tidak menyebutkan kata Islam.
Kalimat penutup Piagam Madinah juga menyebutkan: tidak ada permusuhan
kecuali terhadap yang dzalim dan melanggar hukum. “Ini berarti, Nabi
Muhammad tidak memproklamirkan berdirinya negara Islam dan Arab, akan
tetapi Negara Madinah,” terang Kiai Said.
Selain
itu, menurutnya, faktor politis juga kerapkali mempengaruhi, bukan
akidah atau keyakinan. “Seperti di masa Perang Salib, faktor politis dan
ekonomis lebih banyak menyelimuti renggangnya keharmonisan kedua umat
bersaudara tersebut di Indonesia. Dengan demikian, kekeruhan hubungan
Islam-Kristen tidak jarang dilatarbelakangi nuansa politis yang sama
sekali tidak ada kaitannya dengan agama itu sendiri,” ungkapnya, dalam
buku Tasawuf Sebagai Kritik Sosial: Mengedepankan Islam sebagai Inspirasi bukan Aspirasi.
***
Ditengah
agenda Ketua Umum PBNU yang sedemikian padat, Kiai Said dewasa ini
diterpa berbagai fitnah, hujatan dan bahkan makian dari urusan yang
remeh-temeh sampai yang menyangkut urusan negara. Ia dituduh agen Syiah,
Liberal, antek Yahudi, pro Kristen, dan fitnah-fitnah lain oleh orang
yang sempit dalam melihat agama dan konsep kemanusiaan dan kebangsaan.
Meski demikian, ia toh
manusia biasa – yang tak luput dari salah, dosa dan kekurangan – bukan
seorang Nabi. Artinya, kritik dalam sikap memang wajar dialamatkan,
tetapi tidak dengan hujatan, fitnah, dan berita palsu, melainkan dengan
kata yang santun. Terkait hal ini, dalam suatu kesempatan ia memberi
tanggapan kepada para haters-nya.
Bukannya marah, Kiai Said justru menganggap para pembenci dan pemfitnah
itu yang kasihan. Dan sebagai orang yang tahu seluk beluk dunia
tasawuf, tentu dia sudah memaafkan, jauh sebelum mereka meminta maaf
atas segenap kesalahan. Wallahu a’lam.
Ahmad Naufa Khoirul Faizun, Kader Muda NU dan Kontributor NU Online asal Purworejo, Jawa Tengah.
sumber: nu.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar